Senin, 02 April 2012


KETATANEGARAAN DALAM PERSPEKTIF USHUL FIQH Part 3
                                                                                                                                   
Kembali kepada persoalan fungsi dan peranan seorang pemimpin,persoalan ini merupakan hal yang sangat mendasar dalam sistem ketata negaraan dan pemerintahan Islam. Sebagai bahan analogi nara sumber kutip sebuah hadits Nabi yang sangat masyhur, “Al-Ulama’u Warotsatul Anbiya’i” bahwa Ulama itu adalah pewarisnya para Nabi. Pertanyaannya sekarang,siapakah sesungguhnya yang menjadi pewaris para Rosul ?
Kalau kita lihat dari sudut pandang Ilmu Manthiq (Logika),nisbat (hubungan) antara Rosul dengan Nabi itu adalah Nisbat Umum Khusus bi Itlaq,artinya Setiap Rosul adalah Nabi dan tidak setiap Nabi itu adalah Rosul. Maka jawaban dari pertanyaan tersebut, menurut akal fikiran nara sumber yang sangat sederhana; Pewaris Rosul itu adalah Umaro (pemimpin). Mafhum Muwafaqoh (Pemahaman Sepadan) dari analogi tadi adalah,”Setiap Pemimpin (Umaro) adalah Ulama dan tidak setiap Ulama adalah Umaro”. Hipotesa ini,menurut nara sumber  bukanlah sesuatu yang berlebihan tapi sebuah tuntutan ideal ketika sang Umaro bertindak pula sebagai seorang Ulama.
Namun sehebat apapun konsep ketata negaraan yang ditawarkan dan bagaimana pun super powernya sebuah bangsa ketika suku bunga kedholiman yang meningkat,baik kedholiman terhadap dirinya (bangsanya),kedholiman terhadap sesama (bangsanya) maupun kedholiman terhadap sang Khaliq.Maka bangsa itu tak ubahnya Buih di lautan yang pada akhirnya akan sirna juga. Hanya yang bisa saling memberi manfa’at,itulah yang dapat bertahan dan eksis di muka bumi Alloh ini. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an surat Arro’du ayat 17 :
َIنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الأرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ (١٧)
17. Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, Maka arus itu membawa buih yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, Maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.
Kredibilitas dan kavabilitas sebuah bangsa sesungguhnya dipertaruhkan oleh bagaimana bangsa itu sendiri menjunjung tinggi nilai-nilai Kemanusiaan (humanity). Bangsa yang beradab adalah bangsa yang dalam sistem ketata negaraan dan pemerintahannya senantiasa menerapkan prinsip-prinsip (ushul) yang meliputi  :
1.     Al-Huriyah
2.     Al-‘Adalah
3.     Al-Musawah
4.     Al-Syuro                                                                                                 

Dan dua prinsip tambahan yaitu :
5.     Mu’arodoh
6.     Al-Naqdul Dzatiy atau Muhasabatu al-Nafsi
Termasuk Beradabkah..?dan atau Biadabkah Bangsa kita Indonesia tercinta ini? Silahkan saudara-saudara dan Anggota Dewan Yang Terhormat menjawab sendiri-sendiri. Sambil menunggu jawaban Insya Alloh artikel kita sambung ke....Part 4..Okay ?    
Wasalam..
Ust.Ucu Suryadin,Sag.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar